Kado Akhir Tahun Jokowi, RI Makin Jadi Rebutan Dana Asing

Jakarta, CNBC Indonesia – Investor asing semakin menunjukkan ketertarikannya ke pasar keuangan domestik. Hal ini terbukti dari derasnya dana asing yang masuk ke Indonesia enam pekan beruntun, khususnya di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 18 – 21 Desember 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp6,37 triliun terdiri dari jual neto Rp0,12 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp1,52 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp4,97 triliun di SRBI

Foreign inflow yang terjadi sejak pekan ketiga November ini terjadi secara beruntun dengan total lebih dari Rp40 triliun net buy dan lebih dari Rp25 triliun di SRBI.
Secara keseluruhan, selama 2023, berdasarkan data setelmen s.d. 21 Desember 2023, asing tercatat melakukan beli neto Rp81,40 triliun di pasar SBN, jual neto Rp11,61 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp52,81 triliun di SRBI.

Kondisi tahun ini berbanding terbalik dari tahun lalu. Data BI mencatat investor asing melakukan jual neto sebesar Rp 0,04 triliun pada minggu ke empat Desember. Dari awal 2022- 22 Desember 2022, investor asing juga mencatat jual neto sebesar Rp128,66 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp63,52 triliun di pasar saham.

Kondisi tahun ini tentu saja menjadi kabar gembira bagi Indonesia dan Presiden Joko Widodo (Jokoiw). Pada Oktober lalu, Jokowi berulang kali menyampaikan kekhawatirannya soal dana asing yang kabur dari Indonesia.

Derasnya dana asing masuk ke dalam negeri terjadi di tengah investor menyambut data terbaru yang menunjukkan inflasi Amerika Serikat (AS) semakin mendekati target 2% bank sentral AS (The Fed).

Inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) secara year on year/yoy di AS melandai menjadi 2,6% pada November 2023, terendah sejak Februari 2021. Angka ini di bawah dari periode sebelumnya yang berada di angka 2,9% yoy dan di bawah konsensus yang memperkirakan di angka 2,8% yoy.

Sementara laju inflasi inti PCE AS juga melandai di bawah ekspektasi pasar yakni di angka 3,2% yoy. Sebagai catatan, laju inflasi inti PCE AS periode sebelumnya dan konsensus di angka 3,3% yoy.
Inflasi PCE menjadi pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga.

Semakin melandainya inflasi AS ini memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar, karena artinya ada kecenderungan bahwa AS tidak mengetatkan kembali suku bunga acuannya di tahun 2024.

Ketua The Fed Jerome Powell bahkan mengatakan jika ekonomi sudah berjalan normal dan The Fed tidak perlu lagi mengetatkan kebijakan suku bunga. Dokumen “dot plot” The Fed menunjukkan jika anggota bank sentral mulai mengindikasikan adanya pemangkasan suku bunga.

Kendati demikian, “Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) belum siap untuk menyatakan kemenangan terhadap inflasi, namun prospeknya jauh lebih baik dibandingkan beberapa bulan lalu,” tulis Gus Faucher, kepala ekonom di PNC Financial Services dilansir dari CNBC International.

“Melambatnya inflasi inti membuka pintu bagi penurunan suku bunga The Fed pada 2024. Waktunya akan bergantung pada angka PCE inti selama beberapa bulan ke depan,” imbuhnya.

Sebagai catatan, The Fed lebih memilih PCE sebagai ukuran inflasi dibandingkan Consumer Price Index (CPI) yang lebih banyak diikuti karena CPI lebih berfokus pada jumlah yang sebenarnya dibelanjakan konsumen dibandingkan ukuran harga barang dan jasa. Meskipun para pengambil kebijakan memperhatikan kedua langkah tersebut, mereka lebih memperhatikan harga inti sebagai ukuran inflasi jangka panjang.

Tidak sampai di situ, selisih antara imbal hasil US Treasury 10 tahun dengan SBN tenor 10 tahun juga semakin melebar bahkan lebih dari 260 basis poin (bps). Hal ini yang juga membuat imbal hasil di Tanah Air menjadi lebih menarik dibandingkan di AS. https://merupakan.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*